Selasa, 12 April 2011

Tentangmu dan Puisiku

Aku ingin bercerita tentang sayangku untukmu.
Biar saja rasaku ini terbengkalai sendiri karena kau tak pernah melihat bagaimana dalamnya rasa yang terpendam disini, dihati. Anggap saja aku ‘munafik’, karena telah diam-diam menyayangimu dan merinduimu. Namun apa daya, tak bisa kupungkiri kalau aku pun mengharap kau juga memiliki perasaan yang terhadapku. Meskipun disis lain ‘demi tuhan’ aku tak pernah berharap akan memilikimu seutuhnya. Biar aku saja yang merasai rasaku, biar aku saja yang merasai rasamu. Meskipun kau mampu membuatku meneteskan air mata ketika aku tak berani mengatakan “hari ini aku merindukanmu”, ketika kau banyak bercerita tentang gadis yang kau suka, ketika tiba-tiba kau marah padaku dan bersikap jutek.
Aku ingin semua mengalir seperti air. Biar hatiku yang tahu bagaimana sesuatu telah membuat sesak, biar mataku tak berhenti menitikkan sesuatu yang basah. Kendati tanganku tak mampu meraba wajah murnimu, namun aku coba meraba rasamu yang tak kulihat dengan mataku.Aku memang tak mengerti makna katamu yamh kau anggap tak bermakna, namun aku coba dengar seksama untuk memaknai katamu.
Cukupkah kuindahkan dengan memanggilmu sayang? Cukup indahkan saja dengan kau dengarkan kesahku, cukup indahkan saja dengan kau hapusi air mataku, cukup indahkan saja dengan kau tetap disampingku.

Adat Cinta

Tekulum senyum seindah senja
Membahana menyeruak dalam dada
Serupa gelisah mencari lorong pelita
Ku arungi alur rasa
Ku salami gejolak jiwa

Aku terpaku
Memaknai getar asa
Menggebu. Menarik dahaga kalbu
Gelitik desir mengetuk batin
Seperti ombakmenari merias samudra
Kaukah rindu?
Siluet indah di bola mataku
Bagian mungil dari adapt adapt cinta


Aku Tulis Indahmu

Merangkai kata senada hati
Di tiap-tiap sayap
Yang akan mengantarku ke singgasanamu
Aku dendang syair rindu
Aku rajut benang cinta
Aku patri benih kasih
Kurancangsemua bersama tangkai hati
Yang kian patah menanti seribu satu katamu
Disini aku bercerita tentang
Lentera ungu yang menarikku untuk mencarimu
Disini aku bercerita tentang
Pemata putih yang mengajakku untuk mencintaimu
Masih disini kutulis tentang indahmu
Kasih…


Hujan Berhenti

Hujan disekitar hariku terhenti
Terenyah oleh wajah bermata pingpong
Terhapus basah yang tak berarti di pelupuk sayu
Sendu tersapu rangkai larik kata
Selamatkan jiwaku yang rapuh
Menatih langkah tak bersepatu
Bersamamu…
Aku sampai di langit biru
Memandang hamparan horizon
Meninggalkan kelam tak bertepi
Menjejaki seribu kisah
Aku tak lagi resah

Jumat, 08 April 2011

Catatan Bentrok Akhir Sekolah


 
Kawan adalah hal indah yang dibutuhkan ketika canda tawa perlu untuk menghiasi hari.
Kawan adalah tempat terbaik yang dibutuhkan ketika duka bermuram menyelimuti hati.
Kawan adalah orang yang patut untuk dicari ketika kesendirian menjadi kejenuhan dalam hidup.
Dan kawan… Nggak ada kalian nggak rame.
Kawan…?
Sejak kapankah kawan menjadi lawan?
Ini perlu untuk dipertanyakan dalam keseharian di sekolah dan di kelas kita. Apakah seharusnya kita berada dalam pihak yang berlawanan?
Menunggu detik-detik menuju Ujian Nasional, aku tahu kita sama-sama terbebani mengejar kepemahaman akan materi pelajaran Ujian Nasional. Setiap hari harus bergelut dengan jenuh dan semangat yang palsu, menuntut pikiran untuk focus pada empat hari dimana keringat mengucur tanpa dikehendaki, dimana hati berdebar tak karuan menerima lembaran-lembaran kertas berisi soal-soal njelimet, dimana kita mencoba selalu meringkuk menundukkan kepala karena pengawas layaknya seekor macan yang siap menerkam. Aku tahu itu karena kita sedang sama-sama merasakannya. Tapi apakah dalam detik-detik yang menegangkan ini, masalah yang tak tahu rimbanya harus menjadi bentrok perang dingin dalam kelas?
Ini sungguh seperti perang yang sesungguhnya. Celoteh-celoteh sindiran sering meluncur dari mulut-mulut kita, tatapan-tatapan tajam sering terlempar dianatara kita, dan kata-kata kotor senantiasa begitu mahir terlontar bila salah satu diantara kita merasa tersinggung.
Hey… Whats wrong with us? Any problem?
Memang benar apa yang dikatakan teman kita “Mengapa kekompakkan kelas kita seiring berjalannya waktu semakin memudar?”
Biarkan fakta yang berbicara. Ini tidak bisa ditudingkan sebagai kesalahan kita. Kita akui saja Ego dan emosi kita masih sangat labil. Tercatat, ini bukan masalah anak satu kelas, tapi karena masalah pribadi diri masing-masing.  Bangku deretan timur dari depan sampai belakang.
Blok depan > Tyas, Ryan,Venti, Lenie (aku)
Blok belakang > Bharada, Sofi and d’gank
Ingatkah dulu kita adalah teman dekat? Bergerombol menyerbu kantin yang sempit dan sesak, berbagi ice dengan satu sedotan yang sama, mengerumuni snack dan makan bersama, bergaya konyol bersama dalam jepretan kamera, bersorak lantang bersama mensuport teman kita yang unjuk gigi di lapangan ketika lomba classmeeting.
Oh no! Terlalu indah untuk dilupakan. Harusnya kita perlu mengadakan konferensi meja bundar dengan cicak sebagai ketua perundingan untuk mengakhiri permusuhan ini. Tanyakanlah pada cicak-cicak yang nemplok di dinding yang menemani kita saat jam pelajaran berlangsung. Mungkin cicak-cicak itu lebih pintar dari kita, karena diam-diam dimungkinkan mereka mencuri ilmu dengan ikut mendengarkan penjelasan guru-guru kita. Coba kita tanyakan mengapa kebersamaan yang dulu begitu indah berubah haluan menjadi sebuah permusuhan. Gejolak apakah yang menyebebkan permusuhan ini terjadi?
Bullshit! Ini bukan seperti cerita dalam dongeng. Bagaimana mungkin cicak dapat berbicara nenjawab pertanyaan kita. Bukankah di dunia ini hanya manusia yang dapat berbicara? Tapi mengapa kita tidak mau mencoba untuk bicara langsung untuk mengakhiri konflik tak berharga ini.
Aikh… Biarkan saja cicak-cicak yang hinggap di dinding-dinding kelas kita yang tahu jawabannya.
Kawan… Bisakah kita mengakhiri kericuhan ini? Sebelum perang dengan soal-soal itu terlaksana? Bukankah menjadi teman adalah lebih indah… Kita hiasi saja bibir kita dengan kalimat “Astaghfirullohhal’adzim” dan “Bissmillahhirrokhmannirrokhim”.
Mungkin dengan kalimat ini konflik mereda sendiri karena Alloh yang menghendaki.
“Astaghfirullohhal’adzim” untuk kesalahan kita terhadap hal bodoh ini. “Bissmillahhirrokhmannirrokhim” untuk menunutun langkah kita menyusuru hari-hari kedepan.
Kita teman bukan? Of course! It’s everything gonna be okey. Kita ingat saja kata mom Fatkhurohmah Susetyo dalam coment status facebook-ku “ Forget it! It’s time to STUDY. Get a good mark in UN.

Sabtu, 26 Maret 2011

Gusku

Siang ini sepulang sekolah tampak awan hitam menghapus terik matahari. Aku yang biasa pulang sekolah nebeng motor Yasfa, karena arah rumah kami searah, terpaksa harus bergelut dengan jenuh karena lama menunggu Yasfa yang tak kunjung nongol dari ruang BK. Biasa pasalnya dia memang anak bandel yang sering berurusan dengan guru BK. Dua puluh menit berlalu, tapi Yasfa tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hingga langit semakin gelap dan air langit mulai turun. Gerimis. Aku mendesah. Melangkah bolak-balik di lobi sekolah seraya melipat kedua tangan di depan dada, karena angin berhembus nakal memainkan bulu kudukku.
“Maaf Husna, lama menungguku!” Terdengar suara yang membuatku menoleh dengan bibir manyun.
“heh... Lama banget”. Gerutuku kesal.
Tanpa ba-bi-bu Yasfa beranjak mengambil motor, dan aku tanpa aba-abanya nangkring di jok motornya. Glarrr... Suara bom langit menggelegar. Sontak aku memeluk punggung Yasfa. Hujan semakin menderas, sementara Yasfa mencoba untuk terus menerjang rintik hujan. Namun, kurasakan laju motor Yasfa semakin melambat, lalu berhenti memarkir di emperan toko. Setelah berdiri bersampingan, Yasfa menatapku lekat. Ia buru-buru melepas jaketnya yang sudah basah dan menyematkan ke tubuhku.
“Makasih Gus” Begitulah aku memanggilnya. Yasfa adalah putera dari seorang Kyai yang memiliki pesantren cukup ternama di kebumen.
Yasfa tak menjawab. Hanya seulas senyum yang ia lontarkan kearahku. Senyum yang kurasa lebih manis dari biasanya.
“Aku takut nanti kamu sakit Husna”. Katanya. Pandangan matanya jauh menerawang menembus air langit yang belum juga mereda.
“Aku akan baik-baik saja gus”.
“Ya! Kamu harus baik-baik selalu meski aku tak melihatmu”.Aku terpana mendengar penuturannya. “Maksudmu?”
“Dua hari lagi aku sudah tidak di kota ini lagi Hus.Ayahku tahu kalau selama ini aku belum bisa menjadi anak kebanggaanya dan selalu bandel. Dari yang sering bolos sekolah sampai pacaran gonta-ganti cewek. Makanya Ayah mengirimku ke Semarang untuk di pondokkan di pesantren milik kakanya alias pakde-ku”.
Aku tercenung dalam diam. Kuharap apa yang dikatakan olehnya adalah bohong. Namun, tak kulihat sorot kebohongan di matanya. Hanya air mata yang tertahan dikedua kelopak mataku. Aku akan merasa kehilangan teman sepertinya.
“Aku pasti akan merindukanmu”.
“Aku juga ning”. Yasfa menarik tubuh dan berdiri lebih dekat di sampingku. Alisku terangkat mendengar kata terakhir yang terlontar dari bibirnya.
“Kenapa memanggilku ning?”.
“Kamu juga memanggilku gus lantaran aku seorang putera kyai”.
“Apa hubungannya kamu memanggilku ning?” Aku penasaran
“Dua hari lalu aku tahu dari teman sekelas kita bahwa kamu anak dari seorang kyai. Makanya sekarang aku memanggilmu ning”. Yasfa melirikku. Senyum mengembang di sudut bibirnya. “Heh... bodohnya aku, dua tahun berteman tapi baru tahu”. Lanjutnya
“Tapi sebagai seorang sahabat aku lebih suka dipanggil namaku tanpa ada embel-embel ning. Aku tidak ingin panggilan ning terhadapku berkesan membedakan setatus sosialku dengan yang lainnya”.
“Kalau begitu aku juga tidak suka dipanggil gus. Panggil aku Yasfa”.
Sontak kami tertawa bersamaan seiring hujan yang kian mereda.
***
Di stasiun kereta aku mengantarnya. Gurat wajah Yasfa menunjukkan betapa berat baginya untuk melangkah meninggalkan kota kebumen tempat kelahirannya.
“Jangan lupa berkirim surat untukku”. Aku mengingatkan
“Helo... ini zaman canggih. Ada alat komunikasi yang bisa menghubungkan kita”.
“Tapi aku lebih suka membaca suratmu ketimbang SMS-mu Yasfa”
“Kamu kan tahu aku paling tidak suka buat surat. Waktu aku mengirim surat untuk pacar-pacarku, kamu juga kan yang menulis dan membuatnya?”.
“Please...? Demi aku, temanmu!”
Akhirnya Yasfa menyerah dan menuruti kemauanku.
Kurasakan tetesan hangat saat Yasfa meraba tanganku. Ini adalah suatu hal yang kuanggap ajaib. Dia menangis pada perpisahan ini? Ingin rasanya aku menghapus air matanya. Tapi aku urung, sementara air mataku pun ikut merebak namun tak sempat jatuh.
“Jangan lupakan aku Yasfa! Karena menjadi temanmu adalah indah”. Kataku terbata
“Karena menjadi temanmu adalah indah, aku takkan pernah bisa melupakanmu!”.
Kereta menjadi saksi bisu perpisahan antara aku dan Yasfa. Setelah Yasfa pergi dengan kereta,aku duduk di bangku stasiun dengan segenap rasa kehilangan.
Aku akan menunggu suratmu, teman...