Sabtu, 26 Maret 2011

Gusku

Siang ini sepulang sekolah tampak awan hitam menghapus terik matahari. Aku yang biasa pulang sekolah nebeng motor Yasfa, karena arah rumah kami searah, terpaksa harus bergelut dengan jenuh karena lama menunggu Yasfa yang tak kunjung nongol dari ruang BK. Biasa pasalnya dia memang anak bandel yang sering berurusan dengan guru BK. Dua puluh menit berlalu, tapi Yasfa tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hingga langit semakin gelap dan air langit mulai turun. Gerimis. Aku mendesah. Melangkah bolak-balik di lobi sekolah seraya melipat kedua tangan di depan dada, karena angin berhembus nakal memainkan bulu kudukku.
“Maaf Husna, lama menungguku!” Terdengar suara yang membuatku menoleh dengan bibir manyun.
“heh... Lama banget”. Gerutuku kesal.
Tanpa ba-bi-bu Yasfa beranjak mengambil motor, dan aku tanpa aba-abanya nangkring di jok motornya. Glarrr... Suara bom langit menggelegar. Sontak aku memeluk punggung Yasfa. Hujan semakin menderas, sementara Yasfa mencoba untuk terus menerjang rintik hujan. Namun, kurasakan laju motor Yasfa semakin melambat, lalu berhenti memarkir di emperan toko. Setelah berdiri bersampingan, Yasfa menatapku lekat. Ia buru-buru melepas jaketnya yang sudah basah dan menyematkan ke tubuhku.
“Makasih Gus” Begitulah aku memanggilnya. Yasfa adalah putera dari seorang Kyai yang memiliki pesantren cukup ternama di kebumen.
Yasfa tak menjawab. Hanya seulas senyum yang ia lontarkan kearahku. Senyum yang kurasa lebih manis dari biasanya.
“Aku takut nanti kamu sakit Husna”. Katanya. Pandangan matanya jauh menerawang menembus air langit yang belum juga mereda.
“Aku akan baik-baik saja gus”.
“Ya! Kamu harus baik-baik selalu meski aku tak melihatmu”.Aku terpana mendengar penuturannya. “Maksudmu?”
“Dua hari lagi aku sudah tidak di kota ini lagi Hus.Ayahku tahu kalau selama ini aku belum bisa menjadi anak kebanggaanya dan selalu bandel. Dari yang sering bolos sekolah sampai pacaran gonta-ganti cewek. Makanya Ayah mengirimku ke Semarang untuk di pondokkan di pesantren milik kakanya alias pakde-ku”.
Aku tercenung dalam diam. Kuharap apa yang dikatakan olehnya adalah bohong. Namun, tak kulihat sorot kebohongan di matanya. Hanya air mata yang tertahan dikedua kelopak mataku. Aku akan merasa kehilangan teman sepertinya.
“Aku pasti akan merindukanmu”.
“Aku juga ning”. Yasfa menarik tubuh dan berdiri lebih dekat di sampingku. Alisku terangkat mendengar kata terakhir yang terlontar dari bibirnya.
“Kenapa memanggilku ning?”.
“Kamu juga memanggilku gus lantaran aku seorang putera kyai”.
“Apa hubungannya kamu memanggilku ning?” Aku penasaran
“Dua hari lalu aku tahu dari teman sekelas kita bahwa kamu anak dari seorang kyai. Makanya sekarang aku memanggilmu ning”. Yasfa melirikku. Senyum mengembang di sudut bibirnya. “Heh... bodohnya aku, dua tahun berteman tapi baru tahu”. Lanjutnya
“Tapi sebagai seorang sahabat aku lebih suka dipanggil namaku tanpa ada embel-embel ning. Aku tidak ingin panggilan ning terhadapku berkesan membedakan setatus sosialku dengan yang lainnya”.
“Kalau begitu aku juga tidak suka dipanggil gus. Panggil aku Yasfa”.
Sontak kami tertawa bersamaan seiring hujan yang kian mereda.
***
Di stasiun kereta aku mengantarnya. Gurat wajah Yasfa menunjukkan betapa berat baginya untuk melangkah meninggalkan kota kebumen tempat kelahirannya.
“Jangan lupa berkirim surat untukku”. Aku mengingatkan
“Helo... ini zaman canggih. Ada alat komunikasi yang bisa menghubungkan kita”.
“Tapi aku lebih suka membaca suratmu ketimbang SMS-mu Yasfa”
“Kamu kan tahu aku paling tidak suka buat surat. Waktu aku mengirim surat untuk pacar-pacarku, kamu juga kan yang menulis dan membuatnya?”.
“Please...? Demi aku, temanmu!”
Akhirnya Yasfa menyerah dan menuruti kemauanku.
Kurasakan tetesan hangat saat Yasfa meraba tanganku. Ini adalah suatu hal yang kuanggap ajaib. Dia menangis pada perpisahan ini? Ingin rasanya aku menghapus air matanya. Tapi aku urung, sementara air mataku pun ikut merebak namun tak sempat jatuh.
“Jangan lupakan aku Yasfa! Karena menjadi temanmu adalah indah”. Kataku terbata
“Karena menjadi temanmu adalah indah, aku takkan pernah bisa melupakanmu!”.
Kereta menjadi saksi bisu perpisahan antara aku dan Yasfa. Setelah Yasfa pergi dengan kereta,aku duduk di bangku stasiun dengan segenap rasa kehilangan.
Aku akan menunggu suratmu, teman...

1 komentar: